Jumat, 01 Mei 2009

Pasir Berbisik

Produksi : Saito Production-Camila Internusa Films-Christine Hakim Films

Sutradara : Nan Achnas

Produser : Shanty Harmana-Ueda MakotoHaris Lasmana Christine Hakim

Cerita : Nan Achnas

Durasi : 106 menit

Pasir Berbisik ini adalah sebuah film keluaran tahun 2001 yang mengisahkan kehidupan seorang gadis bernama Daya yang tinggal bersama ibunya, Berlian yang hidup di daerah pesisir pantai yang berpasir hitam di sebuah kawasan terasing. Ayah Daya, Agus pergi menghilang entah kemana saat Daya masih kecil. Daya hidup di dalam ke sendirian dan keterkungkungannya karena ibunya Berlian yang amat sayang padanya melarangnya untuk berbicara dengan orang asing bahkan dengan wanita-wanita di sekitar lingkungan mereka.

Sosok keibuan Berlian, kebijaksanaan, kegigihan dan kerja kerasnya begitu tampak dalam akting dan penjiwaan yang begitu kuat oleh artis kawakan, Christine Hakim seperti yang ia perankan dalam film sebelumnya ”Daun di atas Bantal”. Berlian bekerja keras menjual jamu dan membantu bidan untuk melahirkan maupun mengaborsi wanita-wanita kampungnya hanya untuk membahagiakan anak semata wayangnya.

Daya yang kesepian, sering membayangkan sosok ayahnya saat masih kecil dengan wayang-wayang yang biasa dimainkan ayahnya. Dalam keanehannya, Daya tumbuh sebagai gadis yang introvert, lugu dan polos memiliki kebiasaan yang aneh yaitu menempelkan telinganya di atas pasir, seolah pasir itu berbisik kepadanya. Peran Daya yang dibawakan oleh Dian Sastro ini juga berhasil dijiwai dengan cukup lancar oleh artis muda ini. Terbukti Dian berhasil meraih Lotus award untuk kategori artis terbaik dalam Deauville Asian Film dan Silver Screen Award didalam Singapore International Film Festival. Meski akting Dian di dalam film ini tak sebaik dalam aktingnya dalam film terdahulunya ”Ada Apa Dengan Cinta?”, keluguan dan kepolosannya terlihat begitu alami dan penuh penjiwaan.

Berlian dan Daya hidup dengan tenang, sampai suatu saat kondisi kampung mereka genting. Banyak terjadi pembunuhan, penangkapan tanpa sebab yang jelas bahkan ada kabar bahwa gubuk-gubuk di kampung mereka akan dibakar. Berlian yang sudah dibujuk adiknya menolak untuk berpindah dari tempat tinggal mereka dengan harapan bahwa mereka akan baik-baik saja di tanah mereka. Adik Berlian adalah Delima ,seorang penari Jawa yang diperankan oleh Karlina Inawati dengan begitu luwes dan lemah gemulai. Aktingnya sebagai seorang penari cukup baik, ditambah dengan sikapnya yang menonjol terlihat oleh penonton adalah mudah beradaptasi dan biasa lari dari masalah yang dihadapi.

Ternyata apa yang diharap tidak terjadi, gubuk mereka dibakar, kampung mereka hancur luluh lantak. Dengan membawa sisa harta benda mereka yang seadanya, mereka berdua harus berpindah ke daerah lain. Di tengah perjalanan mereka bertemu dengan pria yang diperankan oleh Dik Doank yang cukup baik memberikan mereka sebuah topeng kepada Daya yang menurut kepercayaan dapat menghindarkan dari roh-roh jahat dan hantu-hantu gurun.Daya dan Ibunya kemudian berjalan mengarungi gurun pasir untuk berpindah ke daerah yang mereka sebut pasir putih. Ketika di tempat baru Daya bertemu seorang sahabat baru bernama Sukma yang diperankan oleh Dessy Fitri. Daya dan Berlian mulai meniti kehidupan mereka dengan gigih.

Keadaan mulai berubah saat Agus tiba-tiba saja muncul kembali dalam kehidupan mereka.Walaupun ragu, Berlian dan Daya mulai menerima kehadiran Agus dalam hidupnya. Agus bahkan berhasil membahagiakan Daya yang rindu akan sosok ayah. Agus digambarkan sebagai sosok ayah yang kurang bertanggung jawab dan sedikit egois. Agus yang diperankan oleh pemeran kawakan, Slamet Rahardjo ini yang meski perannya tak terlalu menonjol cukup membuat penonton menjadi membencinya karena beberapa saat setelah itu Agus terlilit hutang dan ia rela membawa Daya pada lintah darat Suwito demi melunasi hutang itu. Aktingnya sebagai ayah yang begitu saja meninggalkan keluarganya dan rela menjual kegadisan dan kepolosan anak gadisnya sendiri cukup berhasil dijiwai dengan baik.

Didi Petet memerankan peran Suwito dengan cukup meyakinkan. Sebagai seorang lintah darat yang bermata keranjang, ia cukup membuat penonton jijik karena demi selera dan nafsu seksnya ia menginginkan gadis yang usianya begitu muda untuk dinodai. Daya yang polos dan lugu hanya bisa menuruti kemauan Suwito tanpa ia bisa memberontak, menerbitkan rasa iba dan menyiratkan ketidakberdayaan seorang wanita.

Film bergenre drama ini hadir di tahun 2001 membawa wacana baru bagi dunia perfilman dengan mengangkat tema kehidupan sosial yang berasal dari realita masyarakat Jawa yang begitu kental dan sarat akan budaya. Unsur budaya yang begitu terasa dalam pemakaian busana tradisional seperti penggunaan kebaya, kain jarik, sarung, ikat kepala, penggunaan konde serta gaya percakapan sehari-harinya yang meski menggunakan bahasa indonesia sehari-hari masih tercampur bahasa Jawa yang sedikit medhok. Selain itu juga terlihat dalam sarana wayang, topeng, dan tarian jawa sebagai pelengkap dalam film ini. Beberapa kepercayaan jelas terlihat seperti budaya mengambil pasir dari tanah asal dan disebarkan ke tanah yang baru dan juga budaya untuk membangun rumah tidak menghadap arah angin.

Film yang mengambil setting di perkampungan tepi pantai berpasir hitam, lalu berpindah ke gurun dan ke daerah berpasir putih yang terletak di daerah Jawa Timur yang cukup menyajikan panorama yang indah dibaur dengan keheningan alam yang masih begitu alami dan menyajikan kesederhanaan tersendiri. Meskipun juga menampakkan suasana kering, gersang yang tampak dalam ketiadaan hujan dan sedikitnya vegetasi yang ada. Suasana disepanjang film terasa hening, mencekam, dan sepi didukung oleh kondisi background alam dan musik yang begitu hening. Musik yang ada begitu alami dan sederhana seperti deburan ombak, desisan pasir, dan bunyi alat musik tiup yang merdu dan indah. Selain itu terdengar iringan gamelan jawa yang pelan menciptakan suasana hening tersendiri. Terlihat juga didalam ketakutan akan adanya pembunuhan, penangkapan, dan huru hara yang terjadi suasana tetap mencekam dan penuh keheningan. Setting waktunya kurang lebih pada saat terjadinya gejolak politik dimana terjadi penangkapan tanpa sebab, pembunuhan dan huru hara dimana-mana bahkan di daerah pesisir pantai.

Film ini juga sarat akan makna dan pelajaran hidup yang berarti. Antara lain adalah pentingnya keluarga, tanggung jawab akan keluarga, kasih sayang terhadap anak, kerja keras. Pertama kita diajarkan didalam hidup ini harus gigih, ulet, bekerja keras untuk bertahan dan mensyukuri apa yang telah terjadi di dalam hidup kita. Didalam film ini disiratkan bahwa sebagai orang tua kita hendaknya mengasihi, melindungi, dan bertanggung jawab terhadap anak. Namun kita juga dianjurkan untuk tidak terlalu protektif dan mengungkung kebebasan anak. Didalam konfliknya tersirat bahwa keluarga adalah harta yang paling berharga, tidak sebanding apabila kehormatannya ditukarkan hanya demi harta semata-mata. Selain itu pelajaran yang kita ambil kita harus berpikir panjang sebelum bertindak seperti bahwa sebaiknya kita jangan berhutang pada lintah darat.

Film ini dapat dibilang cukup sukses, karena meski pertama kali jalan ceritanya sulit dimengerti pada pertengahan film ini cukup menarik untuk ditonton. Nan Achnas dengan cerdas menghadirkan konflik sosial yang menjadi realita dalam kehidupan masyarakat, dipadukan dengan setting panorama gurun pasir yang indah, langit biru, perkampungan sederhana dan unsur-unsur pesona budaya Jawa yang begitu indah. Karena perannya dalam film ini Nan Achnas telah menyabet berbagai penghargaan dalam ajang-ajang bergengsi seperti meraih Special Jury Award dalam Asian-Pasific Film Festival tahun 2001 sebagai The Most Promising Director, Netpac Award-Special Mention dalam Brisbane International Film Festival di tahun 2003, FIPRESCI Prize dalam Oslo Films from the South Festival tahun 2002, dan masih banyak penghargaan lainnya dalam film ini.Pilihan artis-artis kawakan yang berpengalaman ini begitu tepat untuk menjiwai karakter-karakter dalam film ini.

Penyelesaian film ini terasa agak menggantung dan tidak jelas memberikan tanda tanya bagi penonton. Selain itu penonton yang dibawa ke kehidupan di pesisir pantai dituntut untuk berpikir keras untuk mengetahui peristiwa-peristiwa yang melintas dalam film ini. Seperti pada saat peristiwa pembunuhan, huru hara, tidak jelas mengapa hal itu terjadi. Selain itu, seperti yang sudah dikatakan tadi pada awal-awal film terasa begitu membosankan seperti menonton film dokumenter antara lain juga karena keabsurdan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Untungnya pada saat konflik terasa dan karakter-karakter semakin kuat, penonton baru menemukan titik terang menuju jalan cerita.

Film ini patut untuk ditonton karena didalamnya terkandung realita hidup masyarakat dengan budaya Jawa yang hidup dalam kesederhanaan. Selain itu meski menonton film ini harus banyak berpikir, film ini tetap istimewa karena mengandung amanat dan makna yang dalam dan berarti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar